Limat menit lagi kereta menuju Jakarta tiba. Dari stasiun
Tenjo saya berniat menemui sahabat saya, Abdul Muis, di Ciputat, tepatnya di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Yah, dia memang kuliah di
sana, sejak dua tahun lalu.
Sepanjang perjalanan, saya teringat masa-masa SMA kami.
Menyenangkan.
Tiba di stasiun Pondok Ranji, saya menunggu di sebuah warung
kecil ditemani sebotol air minum dan roti isi coklat. Dari jauh, seseorang
mengendarai motor mendekati saya. Berkulit agak tidak putih, berjaket hijau
tua, dengan pandangan yang tajam, dengan sesekali senyum tak jelas, itu dia
sahabat saya. Tidak berubah sejak SMA, tetap apa adanya.
“widih, serem banget lu Is” cerocos saya, sotoy.
“hehe- udah, ayo naik” kata Muis menyuruh saya naik motor.
“motor siapa, nih Is? Mau kemana kita?”
Memang, kalo ketemu teman itu bawaanya pengen
ngobrol-ngobrol terus.
Tadinya kita mau nonton di Bintaro Plaza, tapi itu terlalu
romantis. Cukuplah tiga tahun lalu kami
berdua secara bersekongkol dan malu-malu nonton bareng di BTM, hanya berdua
saja. Lalu Muis mengajak saya ke
UIN, kebetulan saya juga belom pernah ke UIN. sekalian untuk mengobati
kenorak-an saya.
Jalan-jalan di UIN, hanya membuat saya iri, melihat para
Mahasiswa bolak balik membawa buku, atau nongkrong-nongkrong mendiskusikan
tugas mereka. Akhirnya kami makan, dan menceritakan kehidupan masing-masing.
Masing-masing dari kami bercerita.
Muis bercerita kalo sewaktu lulus SMA dulu, dia sempet
dilema antara dua pilihan. Kuliah yang tinggal didepan mata atau tuntutan dari
keluarga yang mengharuskannya mengurus adik-adiknya. Keluarganya menganggap
Muis egois, karena memikirkan kuliahnya sendiri, bukan hanya itu, keluarganya
pun bilang, tidak sanggup lagi jika harus membiayai kuliah Muis.
Akh, sewaktu itu, saya masih bingung mau ngapain setelah
lulus SMA. Setelah ber-introspeksi secara mendalam, Muis memilih kuliah,
bagaimana pun caranya. Kalo saya waktu itu, malah memilih membuka usaha jual
pulsa. Karena tekad yang kuat, Muis mendapatkan rezeki untuk meneruskan
langkahnya kuliah. Karena bingung, saya mendapat modal jualan dari Mamah saya,
untuk jualan pulsa.
Bahkan Muis berjanji untuk membiayai adik-adiknya sekolah.
Belakangan, itu semua berhasil Muis lakukan. Hebat. Belakangan, modal jualan
pulsa saya, nggak tahu ada dimana.
Muis memulai kuliahnya, beradaptasi dengan lingkungan UIN.
Saya, karena selalu bingung, melamar kerja jadi SPB di Ramayana. Saya capek
bekerja, satu bulan kemudian berhenti. Masih jualan pulsa, lantas menjadi guru honorer
di SDN Kadeper.
Memang Muis mendapatkan beasiswa bidik misi, tapi itu masih
kurang jika harus membiayai adiknya bersekolah. Saya, dengan berat hati karena
menuruti petuah Ibunda tercinta, masuk kuliah di Universitas Terbuka (UT).
Saya, digaji oleh sekolah, dibayarin kuliah sama Mamah,
masih dikasih ongkos buat keperluan yang penting, disiapin motor setiap hari,
dimodalin jualan pulsa. Gimana, enak bukan buatan?!
Muis, diberi beasiswa yang kadang telat, dibebani kuliah
yang pusing, belum tentu dikirimi uang oleh keluarganya, dibebani adik-adiknya
yang harus sekolah, di UIN hidup mandiri, tapi mimpi-mimpi, semangat dan
keteguhan hatinya selalu menginspirasi saya. Saya bangga menjadi sahabatnya!
Kami, menceritakan itu semua sambil tertawa, dipojok tempat
makan. Saya menghabiskan jus alpukat, nasi+ikan. Tidak mau nambah, buat ongkos
pulang. Yah, kami makan berdua dipojok, hanya
saja kami tidak memasang lilin serta bunga-bunga seperti disinetron itu.
Saya pulang dengan semangat baru. Betapa kebodohan saya
akut, disaat sahabat saya setengah mati memperjuangkan pendidikan dan
kehidupannya serta keluarganya, disaat yang sama saya masih berleha-leha,
bermalas-malasan menuju mimpi-mimpi kami.
Kawan, sering saya membaca cerita-cerita seseorang yang
berjuang dalam hidupnya demi sebuah kelayakan yang berarti, kini cerita-cerita
dalam buku itu, adalah sahabat saya sendiri. Teman bermimpi saya, yang selalu
memacu semangat dan menginspirasi hidup saya.
Saya duduk termenung didalam kereta. Dari balik jendela, saya
bisa merasakan semilir angin malam. Riuh para penumpang yang pulang dari
bekerja, seakan mengingatkan, jika hidup ini memang harus selalu untuk
berjuang.
Teman-temanku, kalian harus berjanji, akan mewujudkan mimpi
kalian juga mimpiku. Kita semua akan tertawa, tersenyum bahagia bersama setelah
perjuangan panjang.
4 Komentar:
Terima kasih untuk menginformasikan tentang sahabat yang hampir terlupakan, Abdul Muis. ^o^
Yah, sama2..
jangan, plis jangan dilupakan sahabat kita ini.. ^_^
(hampir) terlupakan Gis, bukan dilupakan!
morfem Ter- yang bermakna tidak sengaja hehe :)
he- piss..
oke lah kalo begitu..
Posting Komentar
Jadi bagaimana menurutmu tentang Mimpiku?